Senin, 09 Maret 2009

Tiga tahun terakhir ini, bisnis syariah di Indonesia berkembang semakin pesat. Menjamurnya unit-unit bisnis syariah di beberapa bidang bisnis, seperti perbankan, asuransi, pegadaian, Lembaga Keuangan Mikro, hotel, lembaga pembiayaan, bahkan advertising membuktikan hal itu.

Satu sisi perkembangan ini haruslah kita syukuri bersama. Karena dengan itu kesempatan kita untuk hidup secara kaffah semakin terbuka lebar. Namun pada sisi lain, kita juga patut khawatir kalau-kalau para pemain bisnis syariah saat ini semata-mata menjadikan ‘pasar’ sebagai pertimbangan dalam melakukan ekstensifikasi bisnisnya, buka atas dasar semangat ruhiyah (ketaatan dan ibadah pada Allah swt). Artinya, realitas (persaingan bisnis) bisa mengalihkan bisnis syariah dari idelisme syariahnya.


Secara bahasa, Syariat (al-syarî'ah) berarti sumber air minum (mawrid al-mâ' li al istisqâ) atau jalan lurus (at-tharîq al-mustaqîm). Sedang secara istilah Syariah bermakna perundang-undangan yang diturunkan Allah Swt melalui Rasulullah Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia baik menyangkut masalah ibadah, akhlak, makanan, minuman pakaian maupun muamalah (interaksi sesama manusia dalam berbagai aspek kehidupan) guna meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Bisnis sendiri merupakan salah satu dari bentuk muamalah yang dibenarkan oleh Islam. Yaitu sejumlah usaha untuk mendapatkan keuntungan. Maka bisnis syariah adalah sebuah aktivitas usaha yang bertujuan mendapatkan keuntungan dan mendasarkan pada aturan yang tertuang dalam al Qur’an, al Hadits, Qiyas dan Ijma’. Pengertian diatas mendasarkan pada kaidah umum hukum syara tentang amal (perbuatan), yaitu “Al-ashlu fil af’al at taqayyud bi hukmi syar’iy” (hukum asal dari perbuatan adalah terikat pada hukum syara).

Maka secara ringkas. Jika menggunakan dasar diatas. Bisnis syariah mestinya memiliki keunikan dan ciri tersendiri. Ciri dan ke khas itu berupa :

Selalu Berpijak Pada Nilai-Nilai Ruhiyah
Nilai ruhiyah adalah kesadaran setiap manusia akan eksistensinya sebagai ciptaan (makhluq) Allah yang harus selalu kontak dengan-Nya dalam wujud ketaatan di setiap tarikan nafas hidupnya. Ada tiga aspek paling tidak nilai ruhiyah ini harus terwujud , yaitu pada aspek : (1) Konsep, (2) Sistem yang di berlakukan, (3) Pelaku (personil).

Memiliki Pemahaman Terhadap Bisnis yang Halal dan Haram
Seorang pelaku bisnis syariah dituntut mengetahui benar fakta-fakta (tahqiqul manath) terhadap praktek bisnis yang Sahih dan yang salah. Disamping juga harus paham dasar-dasar nash yang dijadikan hukumnya (tahqiqul hukmi).

Benar Secara Syar’iy Dalam Implementasi
Intinya pada masalah ini adalah ada kesesuaian antara teori dan praktek, antara apa yang telah dipahami dan yang di terapkan. Sehingga pertimbangannya tidak semata-mata untung dan rugi secara material.

Berorientasi Pada Hasil Dunia dan Akhirat
Bisnis tentu di lakukan untuk mendapat keuntungan sebanyak-banyak berupa harta, dan ini di benarkan dalam Islam. Karena di lakukannya bisnis memang untuk mendapatkan keuntungan materi (qimah madiyah). Dalam konteks ini hasil yang di peroleh, di miliki dan dirasakan, memang berupa harta.

Namun, seorang Muslim yang sholeh tentu bukan hanya itu yang jadi orientasi hidupnya. Namun lebih dari itu. Yaitu kebahagiaan abadi di yaumil akhir. Oleh karenanya. Untuk mendapatkannya, dia harus menjadikan bisnis yang dikerjakannya itu sebagai ladang ibadah dan menjadi pahala di hadapan Allah . Hal itu terwujud jika bisnis atau apapun yang kita lakukan selalu mendasarkan pada aturan-Nya yaitu syariah Islam.

Jika semua hal diatas dimiliki oleh seorang pengusaha muslim, niscaya dia akan mampu memadukan antara realitas dan idealita sehingga memberikan manfaat bagi kehidupannya di dunia maupun akhirat. Jadilah kaya yang dengannya kita bisa beribadah di level yang lebih tinggi lagi.

0 komentar:

Posting Komentar