Jumat, 27 Maret 2009

Pada juam'at dini hari tanggal 27 maret 2009 telah terjadi bencana yang jebolnya tanggul danau situ gintung di ciputat yang pada saat berita ini diturunkan telah mengakibatkan 65 orang tewas dan masih banyak lagi korban yang hilang bencana ini juga mengakibatkan ratusan rumah hanyut terbawa arus, serta mengakibatkan ratusan kepala keluarga kehilangan tempat tinggal.
para korban masih akan terus bertambah dimana tim sar gabungan tang terdiri dari TNI dan basarnas masih terus bekerja mengevakuasi lokasi terjadinya bencana.
jebolnya danau situ gintung diakibatkan curah hujan di ciputat dan sekitarnya pada kamis sore sehingga menaikkan debit air di danau situ gintung saat ini tim SAR masih terus berusaha

Senin, 09 Maret 2009

Sistem ekonomi syariah sangat berbeda dengan ekonomi sosialis,kapitalis maupun komunis. Ekonomi syariah bukan pula berada ditengah-tengah ketiga sistem ekonomi itu. Sangat bertolak belakang dengan kapitalis yang lebih bersifat individual, sosialis yang memberikan hampir semua tanggungjawab kepada warganya serta komunis yang ekstrim, ekonomi Islam menetapkan bentuk perdagangan serta perkhidmatan yang boleh dan tidak boleh di transaksikan. Ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha.

DAMPAK BUNGA

Harus dicatat, bahwa Al-quran membicarakan riba (bunga) dalam ayat tersebut dalam konteks ekonomi makro, bukan hanya ekonomi mikro. Kesalahan manusia kapitalis, termasuk ahli agama Islam yang tak berlatar belakang ekonomi, adalah menempatkan dan membahas riba dalam konteks ekonomi mikro semata. Membicarakan riba dalam konteks ekonomi makro adalah mengkaji dampak riba terhadap ekonomi masyarakat secara agregat (menyeluruh), bukan individu atau perusahaann (institusi). Sedangkan membicarakan riba dalam lingkup mikro, adalah membahas riba hanya dari sisi hubungan kontrak antara debitur dan kreditur. Biasanya yang dibahas berapa persen bunga yang harus dibayar oleh si A atau perusahaan X selaku debitur kepada kreditur. Juga, apakah bunga yang dibayar debitur sifatnya memberatkan atau menguntungkan. Ini disebut kajian dari perspektif ekonomi mikro.

Padahal ayat Al-Quran menyoroti riba dari perspektif ekonomi makro, yaitu mengkaji kaitan dan dampak riba terhadap inflasi, pengaruh riba terhadap investasi, produksi dan pengangguran juga dampak riba terhadap volasitias mata uang. Mengkaji riba dari sisi ekonomi makro juga mengkaji praktek riba yang telah sistemik, yaitu riba yang telah menjadi sistem di mana-mana, riba yang telah menjadi instrumen ekonomi dalam institusi di lingkup negara dan global, sebagaimana yang diyakini para penganut sistem ekonomi kapitalisme.Dalam sistem kapitalis ini, bunga bank (interest rate) merupakan jantung dari sistem perekonomian. Hampir tak ada sisi dari perekonomian, yang luput dari mekanisme kredit bunga bank (credit system). Mulai dari transaksi lokal pada semua struktur ekonomi negara, hingga perdagangan internasional.

RIBA DAN META EKONOMI ISLAM

Menurut pandangan kebanyakan manusia, pinjaman dengan sistem bunga akan dapat membantu ekonomi masyarakat yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi rakyat. Anggapan tersebut telah menjadi keyakinan kuat hampir setiap orang, baik ekonom, pemeritah maupun praktisi. Keyakinan kuat itu juga terdapat pada inetelektual muslim terdidik yang tidak berlatar belakang pendidikan ekonomi. Karena itu tidak aneh, jika para pejabat negara dan direktur perbankan seringkali bangga melaporkan jumlah kredit yang dikucurkan untuk pengusaha kecil sekian puluh triliun rupiah. Begitulah pandangan dan keyakinan hampir semua manusia saat ini dalam memandang sistem kredit dengan instrumen bunga. Itulah pandangan material (zahir) manusia yang seringkali terbatas.

Pandangan umum di atas dibantah oleh Allah dalam Al-quran surah Ar-Rum : 39, “ Apa “Apa yang kamu berikan (berupa pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia bertambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum : 39).

Ayat ini menyampaikan pesan moral, bahwa pinjaman (kredit) dengan sistem bunga tidak akan membuat ekonomi masyarakat tumbuh. Pandangan Al-quran ini secara selintas sangat kontras dengan pandangan manusia kebanyakan. Manusia menyatakan bahwa pinjaman dengan sistem bunga akan meningkatkan ekonomi masyarakat, sementara menurut Allah, pinjaman dengan sistem bunga tidak membuat ekonomi tumbuh dan berkembang.
Mengapa Allah mengatakan pinjaman kredit dengan sistem bunga tidak menumbuhkan ekonomi ?. Di sinilah keterbatasan akal (pemikiran) sebagian besar manusia. Mereka hanya memandang secara dangkal, kasat mata dan material (zahir) belaka. Dari sinilah muncul konsep meta-ekonomi Islam, yaitu, sebuah pandangan ekonomi yang berada di luar akal material manusia yang terbatas.

Tiga tahun terakhir ini, bisnis syariah di Indonesia berkembang semakin pesat. Menjamurnya unit-unit bisnis syariah di beberapa bidang bisnis, seperti perbankan, asuransi, pegadaian, Lembaga Keuangan Mikro, hotel, lembaga pembiayaan, bahkan advertising membuktikan hal itu.

Satu sisi perkembangan ini haruslah kita syukuri bersama. Karena dengan itu kesempatan kita untuk hidup secara kaffah semakin terbuka lebar. Namun pada sisi lain, kita juga patut khawatir kalau-kalau para pemain bisnis syariah saat ini semata-mata menjadikan ‘pasar’ sebagai pertimbangan dalam melakukan ekstensifikasi bisnisnya, buka atas dasar semangat ruhiyah (ketaatan dan ibadah pada Allah swt). Artinya, realitas (persaingan bisnis) bisa mengalihkan bisnis syariah dari idelisme syariahnya.


Secara bahasa, Syariat (al-syarî'ah) berarti sumber air minum (mawrid al-mâ' li al istisqâ) atau jalan lurus (at-tharîq al-mustaqîm). Sedang secara istilah Syariah bermakna perundang-undangan yang diturunkan Allah Swt melalui Rasulullah Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia baik menyangkut masalah ibadah, akhlak, makanan, minuman pakaian maupun muamalah (interaksi sesama manusia dalam berbagai aspek kehidupan) guna meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Bisnis sendiri merupakan salah satu dari bentuk muamalah yang dibenarkan oleh Islam. Yaitu sejumlah usaha untuk mendapatkan keuntungan. Maka bisnis syariah adalah sebuah aktivitas usaha yang bertujuan mendapatkan keuntungan dan mendasarkan pada aturan yang tertuang dalam al Qur’an, al Hadits, Qiyas dan Ijma’. Pengertian diatas mendasarkan pada kaidah umum hukum syara tentang amal (perbuatan), yaitu “Al-ashlu fil af’al at taqayyud bi hukmi syar’iy” (hukum asal dari perbuatan adalah terikat pada hukum syara).

Maka secara ringkas. Jika menggunakan dasar diatas. Bisnis syariah mestinya memiliki keunikan dan ciri tersendiri. Ciri dan ke khas itu berupa :

Selalu Berpijak Pada Nilai-Nilai Ruhiyah
Nilai ruhiyah adalah kesadaran setiap manusia akan eksistensinya sebagai ciptaan (makhluq) Allah yang harus selalu kontak dengan-Nya dalam wujud ketaatan di setiap tarikan nafas hidupnya. Ada tiga aspek paling tidak nilai ruhiyah ini harus terwujud , yaitu pada aspek : (1) Konsep, (2) Sistem yang di berlakukan, (3) Pelaku (personil).

Memiliki Pemahaman Terhadap Bisnis yang Halal dan Haram
Seorang pelaku bisnis syariah dituntut mengetahui benar fakta-fakta (tahqiqul manath) terhadap praktek bisnis yang Sahih dan yang salah. Disamping juga harus paham dasar-dasar nash yang dijadikan hukumnya (tahqiqul hukmi).

Benar Secara Syar’iy Dalam Implementasi
Intinya pada masalah ini adalah ada kesesuaian antara teori dan praktek, antara apa yang telah dipahami dan yang di terapkan. Sehingga pertimbangannya tidak semata-mata untung dan rugi secara material.

Berorientasi Pada Hasil Dunia dan Akhirat
Bisnis tentu di lakukan untuk mendapat keuntungan sebanyak-banyak berupa harta, dan ini di benarkan dalam Islam. Karena di lakukannya bisnis memang untuk mendapatkan keuntungan materi (qimah madiyah). Dalam konteks ini hasil yang di peroleh, di miliki dan dirasakan, memang berupa harta.

Namun, seorang Muslim yang sholeh tentu bukan hanya itu yang jadi orientasi hidupnya. Namun lebih dari itu. Yaitu kebahagiaan abadi di yaumil akhir. Oleh karenanya. Untuk mendapatkannya, dia harus menjadikan bisnis yang dikerjakannya itu sebagai ladang ibadah dan menjadi pahala di hadapan Allah . Hal itu terwujud jika bisnis atau apapun yang kita lakukan selalu mendasarkan pada aturan-Nya yaitu syariah Islam.

Jika semua hal diatas dimiliki oleh seorang pengusaha muslim, niscaya dia akan mampu memadukan antara realitas dan idealita sehingga memberikan manfaat bagi kehidupannya di dunia maupun akhirat. Jadilah kaya yang dengannya kita bisa beribadah di level yang lebih tinggi lagi.

Perkembangan industri perbankan dan keuangan syariah dalam satu dasawarsa belakangan ini mengalami kemajuan yang sangat pesat, seperti perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, pegadaian syariah, Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Demikian pula di sektor riil, seperti Hotel Syariah, Multi Level Marketing Syariah, dsb.

Perkembangan perbankan menurut data Bank Indonesia mengalami kemajuan yang spektakuler. Jika sebelum tahun 1999, jumlah bank syariah sangat terbatas di mana hanya ada sebuah bank syariah, yaitu Bank Muamalat Indoensia dengan beberapa kantor cabang, kini ada 21 bank syariah dengan jumlah pelayanan kantor bank syariah sebanyak 611 (data Mei 2006). Demikian pula lembaga asuransi syariah, perkembangannya di Indonesia merupakan yang paling cepat di dunia. Hanya Indonesia satu-satunya negara yang memiliki 34 lembaga asuransi syariah, sedangkan Malaysia cuma ada 4 lembaga asuransi syariah. Dan hanya Indonesia yang memiliki 3 lembaga reasuransi syariah. Di negara manapun biasanya hanya ada satu lembaga reasuransi syariah. Jumlah BMT juga telah melebihi dari 3.800 bauh yang tersebar di seluruh Indonesia.

Meskipun perkembangan lembaga perbankan dan keuangan syariah demikian cepat, namun dari sisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengaturnya masih jauh tertinggal, termasuk hukum-hukum yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa bisnis (hukum dagang) syariah.

Karakteristik Ekonomi Islam

Sebutan “Ekonomi Islam” melahirkan kesan beragam. Bagi sebagian kalangan, kata ‘Islam’ memposisikan Ekonomi Islam pada tempat yang sangat esklusif, sehingga menghilangkan nilai kefitrahannya sebagai tatanan bagi semua manusia. Bagi lainnya, Ekonomi Islam digambarkan sebagai ekonomi hasil racikan antara aliran kapitalis dan sosialis, sehingga ciri khas khusus yang dimiliki oleh Ekonomi Islam itu sendiri hilang.

Padahal sebenarnya Ekonomi Islam adalah satu sistem yang mencerminkan fitrah dan ciri khasnya sekaligus. Dengan fitrahnya Ekonomi Islam merupakan satu sistem yang dapat mewujudkan keadilan ekonomi bagi seluruh umat. Sedangkan dengan ciri khasnya, Ekonomi Islam dapat menunjukkan jati dirinya – dengan segala kelebihannya -- pada setiap sistem yang dimilikinya.

Ekonomi Rabbani menjadi ciri khas utama dari model Ekonomi Islam. Chapra menyebutnya dengan Ekonomi Tauhid. Tapi secara umum dapat dikatakan sebagai “divine economics”. Cerminan watak “Ketuhanan” ekonomi Islam bukan pada aspek pelaku ekonominya -- sebab pelakunya pasti manusia -- tetapi pada aspek aturan atau sistem yang harus dipedomani oleh para pelaku ekonomi. Ini didasarkan pada keyakinan bahwa semua faktor ekonomi termasuk diri manusia pada dasarnya adalah kepunyaan Allah, dan kepadaNya (kepada aturanNya) dikembalikan segala urusan (3: 109). Melalui aktivitas ekonomi, manusia dapat mengumpulkan nafkah sebanyak mungkin, tetapi tetap dalam batas koridor aturan main..”Dialah yang memberi kelapangan atau membatasi rezeki orang yang Dia kehendaki” (42: 12; 13: 26). Atas hikmah Ilahiah, untuk setiap makhluk hidup telah Dia sediakan rezekinya selama ia tidak menolak untuk mendapatkannya (11: 6). Namun Allah tak pernah menjamin kesejahteraan ekonomi tanpa manusia tadi melakukan usaha.

Sebagai ekonomi yang ber-Tuhan maka Ekonomi Islam -- meminjam istilah dari Ismail Al Faruqi -- mempunyai sumber “nilai-nilai normatif-imperatif”, sebagai acuan yang mengikat.. Dengan mengakses kepada aturan Ilahiah, setiap perbuatan manusia mempunyai nilai moral dan ibadah. Setiap tindakan manusia tidak boleh lepas dari nilai, yang secara vertikal merefleksikan moral yang baik, dan secara horizontal memberi manfaat bagi manusia dan makhluk lainnya. Nilai moral “samahah” (lapang dada, lebar tangan dan murah hati) ditegaskan dalam Hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim, sebagai prasyarat bagi pelaku ekonomi untuk mendapatkan rahmat Ilahi, baik selaku pedagang, konsumen, debitor maupun kreditor. Dengan demikian, posisi Ekonomi Islam terhadap nilai-nilai moral adalah sarat nilai (value loaded), bukan sekadar memberi nilai tambah (added value) apalagi bebas nilai (value neutral).

Bagi paham ekonomi naturalistis sumber daya alam adalah faktor paling penting. Sedangkan bagi aliran monetaris yang terpenting adalah modal finansial. Tapi bagi ekonomi Islam sumber daya manusialah (humane capital), yang ternilai, sebagai kuncinya. Al Quran memposisikan manusia sebagai pusat sirkulasi manfaat ekonomi dari berbagai sumber daya yang ada ( 14: 32-34). Sekaligus sebagai penerima amanah “khilafah” dari Allah SWT, memakmurkan kehidupan di muka bumi dengan mengolah sumber daya yang Dia sediakan (11: 61).

Karakter ini merupakan derivasi dari karakter ummat Islam sebagai “Ummatan Wasathan”(Umat Moderat) (2:143), yang mengemban tugas sebagai “syuhada” yakni rujukan kebenaran dan standar kebaikan bagi umat manusia (A. Yusuf Ali:58). Dalam pencermatan beberapa kitab tafsir, posisi “wasathan” mempunyai lebih dari satu konotasi makna. Yang pertama maknanya “tawassuth” yakni moderat. Kedua bermakna “tawazun” yakni seimbang (balance).

Ketiga bermakna “khairan” yakni terbaik dan alternatif. Itu artinya, dalam Islam dan ekonomi Islam tidak ada tempat untuk ekstrimitas. Baik ekstrimitas kapitalis maupun sosialis. Ekonomi Islam memuji “si kaya” yang mengelola hartanya secara benar, tetapi juga sangat peduli utuk memberdayakan “fuqara”. Kebijakan politik ekonomi Islam tak pernah segan untuk menindak si kaya yang tidak menunaikan hak-hak sosial dari hartanya, dan “menjewer” fuqara yang meminta belas kasihan karena malas. Ini menempatkan Ekonomi Islam sebagai ekonomi alternatif atau “khairan”, dan nilai lebih itu diakomodasikan tanpa keraguan.

Islam memerintahkan kepada manusia untuk berkoperasi dalam segala hal, kecuali dalam perbuatan dosa secara vertikal dan permusuhan horizontal (5:3). Pelaksanaannya dapat dilakukan secara bilateral, multilateral, dari tingkat lokal hingga global, tanpa harus dihambat oleh perbedaan apapun juga (49:13). Perwujudan pola kerjasama yang dianjurkan Islam dapat dilakukan dalam skema apapun, tetapi tetap berlandaskan adanya upaya perealisasian wujud tolang-menolong yang sesungguhnya. Demi tegaknya keadilan, Allah telah meletakkan “mizan”, suatu timbangan akurat yang paling objektif. Siapapun tidak boleh melanggarnya (36: 7). Siapapun tidak dibenarkan jadi korban ketidak adilan.

Itulah Ekonomi Islam, yang bersifat Ilahiah-insaniah, terbuka tapi selektif, toleran tapi tak kenal kompromi dalam menegakkan keadilan. Semua itu untuk kesejahteraan umum di dunia dan kebahagiaan di akhirat.

;;