Jumat, 08 Mei 2009

Homeschooling

Homeschooling. Tahun tahun belakangan ini menjadi trend di beberapa kota besar seperti Jakarta. Konsep bersekolah yang tidak mengharuskan siswa hadir di kelas tiap hari ini menjadi alternatif pendidikan bagi anak anak usia sekolah. Alasan mereka berbeda beda, ada yang karena keterpaksaan, ada juga yang memang memilih untuk belajar mandiri. Beberapa paparan berikut mungkin bisa dijadikan gambaran.

1.Karier dan pola didik keluarga
Bagi pelajar yang mempunyai kesibukan berkarier, bersekolah di sekolah formal tentu menjadi bermasalah. Misalkan pekerja seni profesional atau atlet profesional. Karier mereka menuntut waktu yang cukup banyak dan kadang tak tentu. Sering membolos akan membuat repot pihak sekolah, apalagi kalau si siwa diragukan kemampuan akademiknya.

Sebetulnya sama juga dengan keluarga yang memutuskan bahwa pendidikan formal tidak seharusnya menyita waktu yang terlalu banyak. Keluarga seperti ini berkeyakinan bahwa banyak hal-hal lain yang perlu dipelajari anak untuk bekal kehidupannya daripada pendidikan formal itu sendiri. Atau keluarga yang pekerjaannya berpindah-pindah kota atau bahkan negara. Homeschooling memang pilihan yang rasional. Bagi keluarga yang sudah familiar dengan sistem pendidikan ini, biasanya akan membeli kurikulum dari luar negeri seperti Inggris atau Amerika, yang sudah mempunyai kurikulum paten untuk homeschoolers.

2. Mempunyai catatan buruk di sekolah formal
Tidak naik kelas, dikeluarkan dari sekolah formal, sekarang ini sering kali dijadikan alasan bagi siswa untuk memilih homeschooling di Indonesia. Ini adalah faktor negatif dari sistem homeschooling. Ketidakmandirian dan ketidakmampuan siswa untuk belajar mendorong munculnya praktek-praktek ilegal dalam mencari kelulusan atau sertifikat.

3. Anak yang luar biasa
Kurikulum di sekolah formal, baik materi maupun waktu pembelajarannya disusun untuk anak dengan kemampuan rata-rata. Anak dengan kemampuan di atas atau jauh di atas rata-rata kemungkinan akan bermasalah dengan kurikulum tersebut. Menurut mereka pelajaran di sekolah terlalu lambat atau terlalu bertele-tele. Pada prakteknya memang anak seperti ini bisa menyelesaikan program belajarnya lebih cepat dari waktu sekolah formal, dengan nilai yang maksimal. Memang sekolah-sekolah unggulan sekarang banyak yang menyediakan kelas akselerasi, tetapi homeschooling dengan beberapa keunggulannya tetap bisa dijadikan pilihan.

Sebetulnya ada kelompok keempat dan kelima yang mempunyai alasan lain untuk memilih ber-homeschooling. Yaitu anak yang malas tidak mau sekolah dan anak (atau orang tua) yang tidak tahan kalau tidak mengikuti trend. Ini alasan paling menyedihkan, tapi tidak sedikit di Jakarta anak-anak yang seperti itu. Biasanya mereka menggunakan alasan nomor satu sebagai kamuflase. Dan komunitas homeschooling yang sekarang ini, tidak bisa dibantah, banyak yang memang bertujuan mencari keuntungan finansial, akan melayani tanpa banyak tanya.

Jika kita telaah secara obyektif sistem pendidikan ini, kita akan menemukan keuntungan yang banyak dari sistemnya. Karena sistem homeschooling ini sangat fleksibel untuk diterapkan di keluarga manapun yang sudah mempunyai program dan komitmen yang pasti dalam membesarkan anak-anak mereka.

Memilih sekolah yang baik

Jika para orang tua sudah memutuskan untuk memasukkan anaknya ke jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) atau menengah (SMA atau kejuruan), hal hal berikut ini sebaiknya menjadi bahan pertimbangan.

Biaya
Lebih bijak bagi orang tua untuk menyekolahkan anak sesuai dengan kemampuan ekonominya. Memang ada orang tua yang rela berhutang atau menjual barang-barang produktif milik keluarga untuk membiayai anaknya yang bersekolah di sekolah bergengsi. Tetapi bukankah mengajarkan kesahajaan dan kesederhanaan itu lebih bermanfaat bagi kehidupan anak daripada pendidikan akademik itu sendiri? Pendidikan dasar di beberapa tempat memang sudah digratiskan, tetapi biaya buku, seragam, kegiatan dan lain-lain sebaiknya diperhatikan juga.

Nilai
Seleksi masuk sekolah, baik itu melalui nilai UAN atau tes masuk, juga menjadi bahan penentuan di mana anak akan bersekolah. Pernah saya bertanya pada seorang ibu yang anaknya baru beberapa minggu duduk di kelas tiga SMP, Anaknya nanti akan meneruskan SMA di mana, Bu? Jawab Ibu itu, Nanti lihat nilainya. Ini cara yang salah untuk membuat keputusan. Tentukan dahulu targetnya, kemudian ajarkan dan dukung anak untuk berusaha mencapai target tersebut. Jika anak terbiasa seperti itu dia akan merasakan banyak manfaat dalam kehidupannya.

Jarak
Perjalanan ke sekolah akan dilakukan anak setiap hari, berangkat dan pulang. Jarak tempuh ke sekolah tentunya menjadi bahan pertimbangan. Rute yang lebih dekat atau lebih mudahlah yang menjadi pilihan. Rute yang jauh atau sulit selain akan memakan waktu, tenaga, mungkin juga ongkos dan pikiran.

Pergaulan
Di beberapa sekolah, biasanya SMP atau SMA, rawan tawuran, tempat ‘nongkrong’ yang tidak ada tujuan produktif, atau teman-teman yang ‘mengkhawatirkan’ menurut orang tua. Tentunya ini juga menjadi bahan pertimbangan. Walaupun si anak ‘baik-baik saja’, tetapi kalau lingkungannya ‘berbahaya’ tentu akan mengkhawatirkan juga. Ada juga orang tua yang memindahkan anaknya dari sekolah yang kompleknya dekat dengan suatu universitas. Karena di situ anak menjadi lebih cepat ‘dewasa’ atau lebih tepat dikatakan sok dewasa, tanpa diikuti dengan kedewasaan yang sesungguhnya.

Jam belajar/Kurikulum
Orang tua yang teliti memilih sekolah, biasanya menanyakan apa saja pelajaran yang akan diajarkan nanti. Apa muatan lokal yang diberikan di sekolah tersebut. Dan buku apa yang digunakan. Apa kegiatan ekstrakurikulernya. Orang tua yang lebih berani akan menanyakan guru-gurunya lulusan mana, seperti apa metode mengajarnya dan bagaimana manajemen sekolah. Tapi biasanya pertanyaan-pertanyaan terakhir ini ditujukan pada sekolah-sekolah swasta di kota yang persaingannya ketat dalam mencari murid baru, umumnya di kota besar dan kota pendidikan.

Minat Anak
Anak-anak seusia SD, SMP, apalagi SMA biasanya sudah punya pendapat sendiri dalam memilih sekolahya. Orang tua sebaiknya mendengarkan dan memasukkan pendapat mereka ini dalam bahan pertimbangan. Jika orang tua merasa yakin bahwa pilihan anak itu kurang tepat karena kadang pertimbangan mereka kurang matang, bantahlah dengan argumen yang bisa diterima anak. Atau jika mereka memilih sekolah karena ikut-ikutan, ajari mereka bahwa semua keputusan ada konsekuensinya, dan bantulah mereka melihat kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa mereka pilih.

Sekolah Kejuruan
Orang tua yang ingin anaknya cepat mandiri, biasanya menyekolahkan anak ke sekolah kejuruan, yang sesuai dengan minat. Karena lulusan sekolah kejuruan sudah mempunyai kecakapan khusus dan lebih bisa diterima di beberapa perusahaan. Tetapi sekarang ini trendnya mulai bergeser, untuk tenaga ahli, banyak perusahaan yang cenderung memilih tenaga lulusan Diploma 3.

Pada hakikatnya anak-anak, yang belum dewasa, mempunyai hak untuk didampingi oleh orang tuanya, baik dalam mengambil keputusan ataupun dalam menjalani konsekuensi dari keputusan tersebut. Jika dari semua pertimbangan di atas tidak ada yang sesuai dengan kemauan dan kemampuan orang tua dan anak, pendidikan alternatif mungkin bisa dijadikan pilihan.

;;